Pada suatu masa di
tanah Alas terjadilah kemarau panjang banyak penduduk yang mati kelaparan
begitu pula ternak penduduk. Seorang pemuda dari kampung Kuta Gerat bernama Si Pihir berniat merantau ke
Bahorok(Langkat), dia berkeinginan mencari penghidupan di sana. Karena tersiar
kabar tanah Bahorok sangat subur dan hujan turun secara teratur di daerah itu.
Si Pihir menyampaikan niatnya tersebut kepada bibi dan bangbru(suami bibi)
juga kepada Beru Dihe anak bibinya tersebut. Keluarga bibinya bersedia ikut ke
Bahorok tetapi ibu Pihir sendiri enggan meninggalkan tanah alas. Ibunya akan
menunggu kepulangan mereka dari Bahorok suatu saat.
Penduduk Bahorok sangat prihatin atas apa yang terjadi di tanah alas mereka
memberi Pihir dan keluarga bibinya pekerjaan dan lahan. Singkat cerita
suksesnya mereka hidup di Bahorok tapi Pihir merasa ada yang kurang karena
tidak sang ibu disampingnya. Keesokan harinya pamitlah ia kepada keluarga
bibinya untuk pulang menjenguk ibunya di kampung.
Betapa bahagianya ibu Pihir melihat kedatangan anaknya. Selama berada di
kampung Pihir melihat banyak perubahan tanah Alas menjadi subur dan kehidupan
penduduknya makmur. Maka terlupakan ia tanah Bahorok. Lama Pihir menetap di
.kampung halamannya.
Sementara Beru Dihe telah menjadi seorang primadona di kampung Bahorok. Ia
menjalin hubungan dengan seorang anak raja Bahorok. Dia dan keluarganya selalu
diberi dan harta yang melimpah oleh anak raja tersebut serta perhatian dan
cinta.
Melihat keberhasilan si Pihir di tanah Bahorok banyak pemuda tanah alas
berniat mengadu nasib di Bahorok setelah sekian lama di Bahorok mereka berniat
pulang ke tanah alas. Di kampung halaman mereka berjumpa dengan si Pihir. Si
Pihir menanyakan kabar Beru Dihe kepada mereka, mereka berkata Beru Dihe akan
segera menikah dengan anak raja Bahorok. Si Pihir sangat kesal dan berniat
menjemput Beru Dihe ke Bahorok.
Si Pihir menyampaikan niatnya kepada bibi dan bangbrunya untuk membawa
mereka ke tanah alas tapi bibinya berkata pasti Beru Dihe akan keberatan
meninggalkna kekesihnya anak raja Bahorok mereka menipu Beru Dihe dengan
mengatakan akan mengatakan perjalanan ziarah ke gunung Pematukan. Setelah lama
berjalan sampailah mereka ke tanah alas maka terkejutlah Beru Dihe. Ternyata
dia telah tertipu tapi menangispun tak ada gunanya.
Sekian lama mereka di kampung halaman hubungan Si Pihir dan Beru Dihe
semakin dekat saja dan mereka berniat akan menikah sementara di Bahorok kekesih
Beru Dihe sakit keras dan memenggil Beru Dihe. Segala dukun dan tabib telah
dipanggil tapi tidak mampu mengobati penyakit anak raja Bahorok. Akhirnya,
dicarikanlah seorang gadis yang mirip dengan Beru Dihe,sembuhlah anak raja
Bahorok dari penyakitnya. Mereka menikah dan anak raja tersebut bisa melupakan
Beru Dihe.
Si Pihir sedang memikirkan biaya tambahan untuk pernikahannya. Ia mendengar
beras dari tanah alas sangat mahal harganya jika di jual ke Singkil. Dia pamit
dengan ibunya serta keluarga bibinya untuk berangkat ke Singkil menjual beras.
Beru Dihe melepas kepergiannya ke Singkil.
Setelah kepergiannya Beru Dihe didekati pengulu tangku. Beru Dihe tidak
suka dan selalu menghindar tapi pengulu tangku tidak menyerah. Ia membayar
salah seorang teman Beru Dihe yang bernama Juare Panjang untuk menghasut Beru
Dihe dan bibinya untuk membatalkan pernikahan dengan Si Pihir. Itupun tidak
mempengaruhi keputusan Beru Dihe dan bibinya. Pengulu tangku memutuskan untuk
mengguna-guna dan keluarganya melalui makanan yang dititip kepada Juare
Panjang. Setelah itu berubahlah hati Beru Dihe untuk segera menikah dengan
Pengulu Tangku keputusan itu didukung sepenuhnya oleh keluarga Beru Dihe.
Beberapa oranga pemuda layaknya Si Sipihir akan berdagang beras ke Singkil.
Beru Dihe berkata keoada mereka, ”abang tolong sampaikan kirimanku ini kepada
bang Pihir, isi kirimanku ini berupa cabai rawit yang masak, garam dan arang
yang dibungkus dengan daun, selanjutnya jangan lupa sampaikan pula bahwa saya
akan dinikahkan dengan pengulu tangku orang yang kaya raya itu, janganlah ia
sakit hati.” pemuda itu menjawab, ”baiklah .”
Sesampainya mereka di Singkil mereka menceritakan kepada Si Pihir keadaan
Beru Dihe dan menyampaikan kirimannya. Melihat isi kiriman tersebut tahulah Si
Pihir hubungan mereka tidak bisa diselamatkan lagi. Si Pihir mengubah haluan
sampannya menuju Tanah Karo. Uang hasil dagangannya digunakannya untuk menuntut
ilmu batin kepada Pengulu Singglit. Ternyata Pengulu Singglit adalah guru dari
Pengulu Tangku. Adapun ilmu yang diajarkan kepada Si Pihir adalah ilmu merajah
gunanya untuk membuat ngantuk hantu air, ilmu yang dapat menurunkan burunbg
Elang dari terbanganya dan ilmu perang mayung rang bisa mematikan orang dalam
keadaan sedang jongkok, berdiri atau duduk.
Si Pihir pulang ke kampung halamannya dan menjumpai ibunya. Betapa sedih
hatinya ternyata selama kepergiaanya ke Singkil Beru Dihe dan bibinya tidak
menjenguk ibunya. Si Pihir meniup serulingnya di suatu tempat. Beru Dihe
mendengar seruling itu dan mendatangi Si Pihir. Dia menangis dan meminta maaf
tapi Si Pihir tidak mau menerimanya.
Keesokan harinya rombongan Pengulu Tangkuh mengantar emas ke rumah Beru
Dihe, rombongan tersebut berjumpa Si Pihir . Si Pihir menghina Pengulu Tangkuh,
rombongan itu marah dan Si Pihir membayar denda atas perbuatannya itu. Tapi Si
Pihir berkata Pengulu Tangkuh akan menyesal atas perlakuannya itu.
Si Pihir merajah hantu air, Beru Dihe merasa kepanasan dan menceburkan dirinya
ke sungai kemudian datang burung elang menjatuhkan sirih di hadapan Beru
Dihe.Dia langsung memakannya. Beru Dihe pingsan dan ditolong Pengulu Tangkuh.
Pengulu Tangkuh memberi obat penawar akhirnya ia sadar sebentar tapi Pihir
menarik ayam merah dan menebas lehernya. Beru Dihe menarik nafas terakhir
bersamaan dengan ayam merah tersebut.
Pengulu Tangkuh melaporkan Si Pihir kepada Raja Mbatumbulan. Raja
Mbatumbulan memusyawarahkannya dengan Raja Bambel, akhirnya digelarlah
pengadilan dengan menghadirkan Pengulu Singglit. Pengulu Singglit mengaku telah
memberi ilmu perang mayung kepada Si Pihir. Si Pihir dihukum atas
perbuatannya.Sejak saat itu dilarang keras memberi ilmu batin perang mayung
kepada masyarakat tanah Alas.
No comments:
Post a Comment